Seseorang yang berhutang bisa menjaminkan harta bendanya kepada krediturnya, dengan tujuan apabila ia tidak dapat melunasi utangnya, kreditur dapat memperoleh pelunasannya dari harta benda tersebut.
Peraturan perundang-undangan Indonesia memberikan beberapa bentuk pilihan jaminan kebendaan atas utang. Masing-masing memiliki ciri tersendiri terhadap jenis barang yang dapat dijadikan jaminan dan cara pembentukannya.
Berikut adalah sekilas tentang bentuk-bentuk jaminan kebendaan atas utang yang tersedia menurut peraturan perundang-undangan.
GADAI
Gadai adalah bentuk jaminan kebendaan yang dapat dibuat untuk menjaminkan benda-benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Contohnya bermotor, alat-alat elektronik, emas dan logam mulia, saham, obligasi, dan hak cipta.
Gadai diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) hingga pasal 1160 KUHPerdata. Dan pasal 1150 KUHP memberikan definisi gadai sebagai berikut:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang dijelaskan diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Untuk melahirkan gadai secara sah, perlu dilakukan dua hal: pertama debitur dan kreditur membuat perjanjian atau kesepakatan tentang pemberian gadai; dan, kedua adalah debitur menyerahkan objek atau barang yang digadaikan kepada Kreditur, untuk dipegang oleh kreditur selama debitur masih berhutang kepada kreditur (Pasal 1152 KUHPerdata).
HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan adalah bentuk jaminan kebendaan yang dapat dibuat untuk menjaminkan benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.
Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU Hak Tanggungan).
Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan memberikan definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain
Untuk dapat membentuk atau melahirkan jaminan Hak Tanggungan, perlu dilalui beberapa tahapan.
- Pertama, debitur dan kreditur membuat suatu perjanjian atau kesepakatan untuk penjaminan suatu hak atas tanah sebagai jaminan atas utang debitur (Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan);
- Kedua, membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan); dan
- Ketiga, pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari hasil pendaftaran ini akan dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan oleh BPN (Pasal 13 dan 14 UU Hak Tanggungan).
Penjaminan tanah dan bangunan tidak dilakukan dengan cara gadai. atau dengan cara menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada kreditur. Walaupun dalam praktik hal ini bisa dan sering dilakukan, tetapi konsekuensi hukumnya akan berbeda dengan penjaminan tanah dan bangunan dengan Hak Tanggungan.
JAMINAN FIDUSIA
Jaminan Fidusia adalah bentuk jaminan kebendaan yang dapat dibuat untuk menjaminkan benda-benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, ataupun benda bergerak yang tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan.
Objek jaminan pada Jaminan Fidusia secara umum sama dengan Gadai. Namun yang membedakan Gadai dengan Jaminan fidusia adalah, terkait dengan penguasaan objek jaminan dan cara pembentukannya.
Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Dalam pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia diberikan definisi Jaminan Fidusia sebagai berikut:
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Yang menjadi ciri dari Jaminan Fidusia adalah objek jaminan tetap berada dalam penguasaan debitur. Hal ini yang membedakannya dengan Gadai, yang objeknya harus diserahkan untuk dikuasai oleh Kreditur.
Untuk, membentuk atau melahirkan Jaminan Fidusia, perlu dilakukan dengan:
- Pertama, membuat Akta Jaminan Fidusia di hadapan Notaris (Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia).
- Kedua, melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 12).
Apabila pendaftaran sudah selesai maka Kantor Pendaftaran Fidusia mengeluarkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan memberikannya kepada kreditur/Penerima Jaminan Fidusia (Pasal 14 ayat (1) UU Jaminan Fidusia).
Pendaftaran Jaminan Fidusia, adalah merupakan ciri yang membedakan Jaminan Fidusia dengan Gadai. Dalam Gadai tidak perlu dilakukan pendaftaran.
HIPOTEK
Hipotek atau Hipotek Kapal adalah bentuk jaminan untuk menjaminkan kapal laut. Khususnya untuk kapal laut yang memiliki bobot 20 meter kubik ke atas.
Hipotek diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran). Pasal 1 angka 12 UU Pelayaran memberikan definisi tentang Hipotek Kapal sebagai berikut:
Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
Dalam pasal 60 ayat (1) UU Pelayaran ditegaskan bahwa penjaminan kapal adalah dengan Hipotek, sebagai berikut:
Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.
Untuk dapat menjaminkan kapal dengan Hipotek, perlu dilakukan dengan pembuatan akta hipotek yang dibuat di hadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal, di tempat Kapal didaftarkan dan dilakukan pencatatan dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal (Pasal 60 ayat (2) UU Pelayaran).
Setelah pembuatan akta Hipotek akan diterbitkan grosse Akta Hipotek yang akan diberikan kepada kreditur/penerima hipotek (Pasal 60 ayat (3) UU Pelayaran).
Demikian ulasan kami tentang bentuk-bentuk jaminan kebendaan atas utang menurut hukum.
Demikian kami sampaikan dan semoga bermanfaat.
Ikuti juga akun sosial media kami, untuk konten yang lebih banyak lagi:
LinkedIn : @gerald.advokat
Facebook : @gerald.advokat
Instagram : @gerald.advokat
Youtube: Gerald.Advokat
KONSULTASI HUKUM:
Apabila hendak berkonsultasi tentang permasalahan hukum saudara, dapat klik tombol di bawah ini.
Baca juga Artikel lainnya
- Akibatnya Jika Pembeli Tanah Tidak Meneliti Hak Dan Pemilik Tanah
- Pengurangan Masa Hukuman Pidana dengan Masa Penangkapan dan Penahanan
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Akibat Hukum Membayar dengan Cek Kosong
- Ahli Waris tidak Berhak Menjual Harta Warisan Selama Pewaris Masih Hidup
- Perjanjian Tidak Dapat Dibatalkan Secara Sepihak
- Kenali Bentuk-Bentuk Jaminan Kebendaan Atas Utang
- [VLOG] Semua Orang Dianggap Tahu Hukum
- Kewajiban Sumpah untuk Saksi
Kunjungi Youtube Kami di Gerald.Advokat.
Yurisprudensi
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Kumpulan Yurisprudensi Hukum Perdata
- Membeli Kendaraan Bermotor Yang Tidak Dilengkapi Surat-Surat I Yurisprudensi No.1056 K/Pid/2016 14 Desember 2016
- Perjanjian Yang Dibuat Di Bawah Tekanan Dapat Dibatalkan | Yurisprudensi MA No. 2356 K/Pdt/2008
- Larangan Main Hakim Sendiri | Yurisprudensi MA No. 345K/Pid/1993, 19 Agustus 1997
- Pembeli Yang Beriktikad Baik Dilindungi Hukum – Yurisprudensi No. 521 K/Sip/1958, 26 Desember 1958
- Mengakui Barang Milik Orang lain Sebagai Milik Sendiri adalah Perbuatan ‘Penggelapan’. Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1046K/Pid/1995 tanggal 26 Juli 1996
- Harta Bersama Dijual tanpa Persetujuan Istri, Apakah Sah? Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 701 K/Pdt/1977
- Hutang-Piutang Pidana atau Perdata? Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 93K/Kr/1969