Dalam praktek gugatan perdata, suatu gugatan dapat dinyatakan ‘tidak dapat diterima’ (Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh majelis hakim yang memeriksa dengan alasan gugatan tersebut cacat formil kabur/tidak jelas, atau dengan istilah Obscuur Libel.
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara khusus tentang gugatan obscuur libel dan lebih banyak kaidahnya dalam yurisprudensi peradilan serta doktrin-doktrin ahli.
Lalu, apa sebenarnya gugatan Obscuur Libel tersebut? mengapa sebuah surat gugatan bisa menjadi tidak jelas?
Untuk memahami tentang gugatan yang obscuur libel, dapat kita perhatikan beberapa pendapat para ahli serta pertimbangan-pertimbanagan hakim ketika memutus dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia berikut ini.
Pendapat Para Ahli
Obscuur Libel menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut:
“yang dimaksud dengan obscuur libel, surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk). Disebut juga, formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk).”
“sebenarnya jika bertitik tolak dari ketentuan 118 ayat 1, pasal 120 dan pasal 121 HIR, tidak terdapat penegasan merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun praktik peradilan, memedomani Pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara Menurut pasal 8 Rv, pokok-pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk en bepaalde conclusie). Berdasarkan ketentuan itu, praktik peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) atau eksepsi gugatan tidak jelas”. (“Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan” Cetakan ke 9 halaman 448)
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. memberikan pandangannya terkait obcuur libel sebagai berikut:
“Maka oleh karena itu Penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (“een duidelijke en bepaalde conclusie’, pasal 8 Rv). Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain, yang disebut “obscuur libel” (gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak Tergugat sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
Bagaimana dengan apa yang dinamakan “obscuur libel”? Arti obscuur libel itu sendiri adalah “tulisan yang tidak terang”. Adapun yang dimaksud adalah gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain (Stein, 1973:94). Pada umumnya gugatan yang mengandung obscuur libel berakibat tidak dapat diterimanya gugatan.” (“Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi ke lima, Penerbit Liberty Yogyakarta, tahun 1998 halaman 4)
Sedangkan menurut Retnowulan Sutanto, SH dan Iskandar Oeripkartawinata mengenai Obscurr Libel:
“Dalam surat gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat untuk diputuskan, ditetapkan dan diperintahkan Hakim. Petitum ini harus lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang terpenting. Apabila petitum tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya petitum tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut obscuur libel (gugatan yang tidak jelas atau gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan tersebut.” (Hukum Acara Perdata, penerbit Cv Mandar Maju tahun 2005 halaman 17)
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Setelah melihat pandangan dari para ahli, berikut adalah beberapa pertimbangan dari majelis hakim yang memeriksa perkara dan memberikan putusan gugatan tidak jelas (obscuur llibel), antara lain:
Penggugat tidak menyatakan dalam petitumnya dengan jelas apa hak yang dituntut dan tindakan apa yang harus dihentikan oleh tergugat, Putusan Mahkamah Agung No. 582 K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 yang menyatakan:
“Petitum gugatan meminta : 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
Penggugat tidak menjelaskan batas-batas tanah sengketa (objek gugatan). Putusan Mahkamah Agung No.1149 K/Sip/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan:
“Bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima”.
Apabila batas-batas tanah dalam gugatan tidak sesuai dengan tanah yang dikuasai oleh tergugat. Putusan Mahkamah Agung No. 81 K/SIP/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan:
“Dipertimbangkan berdasarkan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat diterima.”
Apabila Penggugat mendalilkan dalam positanya bahwa tindakan penggugat menjual sebidang tanah adalah perbuatan melawan hukum, namun dalam petitumnya penggugat meminta agar tergugat dihukum membagi hasil penjualan, sehingga ada pertentangan antara posita dengan petitum. Putusan Mahkamah Agung No. 28 K/Sip/1973 tanggal 28 Januari 1976 yang menyatakan:
“Penggugat mendalilkan bahwa tanah sengketa berasal dari pembelian bersama Penggugat dan Tergugat. Ternyata Tergugat telah menjualnya tanpa persetujuan Penggugat. Atas dasar itu, penggugat menyatakan penjualan tersebut tidak sah. Akan tetapi, dalam petitum penggugat meminta kepada pengadilan agar tergugat dihukum membagi hasil penjualan. Petitum itu dianggap mahkamah agung sangat bertentangan dengan posita. Posita menyatakan penjualan tidak sah, tetapi petitum menuntut pembagian hasil penjualan. Oleh karena itu gugatan menjadi kabur dan tidak jelas dan tidak dapat diterima”
Apabila objek gugatan tidak jelas. Putusan Mahkamah Agung No.556 K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974 yang menyatakan:
“Kalau objek gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”;
kesimpulan.
Dari pendapat-pendapat para ahli dan juga pertimbangan hakim dalam yurisprudensi Mahkamah Agung di atas, dapat disimpulkan bahwa surat gugatan tidak jelas/kabur sehingga obscuur libel adalah surat gugatan yang formulasinya atau perumusannya tidak jelas (bukan kepada isi gugatan/pokok perkara), yang antara lain disebabkan:
- Dalil gugatan tidak terang dan jelas atau tegas;
- Petitum yang tidak jelas dan tegas.
- Gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain, demikian juga apabila posita bertentangan dengan petitum; atau
- Objek gugatan tidak jelas.
Demikian sekilas penjelasan terkait dengan Gugatan Kurang Pihak. Semoga bermanfaat.
![](https://geraldnotes.files.wordpress.com/2021/10/gerald.advokat.png?w=500)
Ikuti juga akun sosial media kami, untuk konten yang lebih banyak lagi:
LinkedIn : @gerald.advokat
Facebook : @gerald.advokat
Instagram : @gerald.advokat
Youtube: Gerald.Advokat
KONSULTASI HUKUM:
Apabila hendak berkonsultasi tentang permasalahan hukum saudara, dapat klik tombol di bawah ini.
Baca juga Artikel lainnya
- Akibatnya Jika Pembeli Tanah Tidak Meneliti Hak Dan Pemilik Tanah
- Pengurangan Masa Hukuman Pidana dengan Masa Penangkapan dan Penahanan
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Akibat Hukum Membayar dengan Cek Kosong
- Ahli Waris tidak Berhak Menjual Harta Warisan Selama Pewaris Masih Hidup
- Perjanjian Tidak Dapat Dibatalkan Secara Sepihak
- Kenali Bentuk-Bentuk Jaminan Kebendaan Atas Utang
- [VLOG] Semua Orang Dianggap Tahu Hukum
- Kewajiban Sumpah untuk Saksi
Kunjungi Youtube Kami di Gerald.Advokat.
Yurisprudensi
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Kumpulan Yurisprudensi Hukum Perdata
- Membeli Kendaraan Bermotor Yang Tidak Dilengkapi Surat-Surat I Yurisprudensi No.1056 K/Pid/2016 14 Desember 2016
- Perjanjian Yang Dibuat Di Bawah Tekanan Dapat Dibatalkan | Yurisprudensi MA No. 2356 K/Pdt/2008
- Larangan Main Hakim Sendiri | Yurisprudensi MA No. 345K/Pid/1993, 19 Agustus 1997
- Pembeli Yang Beriktikad Baik Dilindungi Hukum – Yurisprudensi No. 521 K/Sip/1958, 26 Desember 1958
- Mengakui Barang Milik Orang lain Sebagai Milik Sendiri adalah Perbuatan ‘Penggelapan’. Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1046K/Pid/1995 tanggal 26 Juli 1996
- Harta Bersama Dijual tanpa Persetujuan Istri, Apakah Sah? Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 701 K/Pdt/1977
- Hutang-Piutang Pidana atau Perdata? Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 93K/Kr/1969