Dalam hukum Indonesia terdapat beberapa jenis peraturan yang berlaku, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan sebagainya.
Perlu dipahami bahwa peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut memiliki hierarki. Artinya peraturan perundang-undangan yang satu memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Adanya hierarki peraturan perundang-undangan ini berasal dari suatu teori hukum yang disebut dengan teori hukum berjenjang atau yang sering dikenal dengan nama Stufenbau Theorie.
Teori Stufenbau (Stufenbau Theorie)
Teori hukum berjenjang ini dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang pada intinya mengemukakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Lebih lanjut, Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
Teori ini lalu dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang merupakan murid dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
Selain itu, Hans Nawiasky juga menyatakan bahwa norma hukum itu berkelompok-kelompok. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa norma hukum di suatu negara dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
Di Indonesia, hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia diatur dengan jelas dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No. 12/2011”), yang mana jenis dan hierarkinya adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain jenis peraturan-peraturan di atas, UU No. 12/2011 juga mengakui jenis peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat (Pasal 8 ayat (1) UU NO. 12/2011) .
Untuk jenis peraturan lainnya ini, diakui dan mempunyai kekuatan hukum apabila keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Asas-Asas Penting
Terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan, maka ada beberapa prinsip atau asas hukum yang berlaku, antara lain:
- Lex superiori derogat legi inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
- Lex specialis derogat legi generali: peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. dalam hal ini, apabila dua peraturan tersebut berada dalam jenis dan tingkatan yang sederajat.
- Lex posteriori derogat legi priori: peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama.
- Suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dihapus dengan jenis peraturan yang derajatnya sama atau lebih tinggi.
Bagaimana jika ditemui adanya pertentangan dengan jenis peraturan yang lebih tinggi?
Dalam praktik, masih dapat ditemukan bahwa suatu ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Dalam keadaan ini, peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan suatu mekanisme untuk dapat menyatakan ketentuan yang bertentangan tersebut tidak berlaku, yaitu yudisial review.
Terkait dengan yudisial review ini, dibedakan menjadi dua jenis. Yang pertama, adalah pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dan yang kedua adalah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah) terhadap Undang-Undang. Pembedaan ini dikarenakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujiannya berbeda.
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar kewenangannya berada pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1).a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, yang berbunyi sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang
Berikutnya, terkait dengan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang kewenangannya berada pada Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
2. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Demikian kami sampaikan dan semoga bermanfaat.
Ikuti juga akun sosial media kami, untuk konten yang lebih banyak lagi:
LinkedIn : @gerald.advokat
Facebook : @gerald.advokat
Instagram : @gerald.advokat
Youtube: Gerald.Advokat
KONSULTASI HUKUM:
Apabila hendak berkonsultasi tentang permasalahan hukum saudara, dapat klik tombol di bawah ini.
Baca juga Artikel lainnya
- Akibatnya Jika Pembeli Tanah Tidak Meneliti Hak Dan Pemilik Tanah
- Pengurangan Masa Hukuman Pidana dengan Masa Penangkapan dan Penahanan
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Akibat Hukum Membayar dengan Cek Kosong
- Ahli Waris tidak Berhak Menjual Harta Warisan Selama Pewaris Masih Hidup
- Perjanjian Tidak Dapat Dibatalkan Secara Sepihak
- Kenali Bentuk-Bentuk Jaminan Kebendaan Atas Utang
- [VLOG] Semua Orang Dianggap Tahu Hukum
Kunjungi Youtube Kami di Gerald.Advokat.
Yurisprudensi
- Perjanjian Yang Dibuat Oleh Pihak Yang Dalam Penahanan Tetap Sah
- Kumpulan Yurisprudensi Hukum Perdata
- Membeli Kendaraan Bermotor Yang Tidak Dilengkapi Surat-Surat I Yurisprudensi No.1056 K/Pid/2016 14 Desember 2016
- Perjanjian Yang Dibuat Di Bawah Tekanan Dapat Dibatalkan | Yurisprudensi MA No. 2356 K/Pdt/2008
- Larangan Main Hakim Sendiri | Yurisprudensi MA No. 345K/Pid/1993, 19 Agustus 1997
- Pembeli Yang Beriktikad Baik Dilindungi Hukum – Yurisprudensi No. 521 K/Sip/1958, 26 Desember 1958
- Mengakui Barang Milik Orang lain Sebagai Milik Sendiri adalah Perbuatan ‘Penggelapan’. Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1046K/Pid/1995 tanggal 26 Juli 1996
- Harta Bersama Dijual tanpa Persetujuan Istri, Apakah Sah? Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 701 K/Pdt/1977
- Hutang-Piutang Pidana atau Perdata? Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 93K/Kr/1969